Sepotong Cinta Kasih Ibu di Jepang

2:55:00 am
"Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah cinta sejati....tanpa pamrih. Tidak bisa dinilai atau digantikan dengan apa pun". (Andrie Wongso)
Satu keluarga yang tengah duduk di depanku sungguh menarik perhatianku. Mulanya, aku memang masih tak paham apa yang terjadi di depan hadapanku. Persis di depan mata, terdapat satu keluarga kecil. Terdiri dari bapak, ibu, dan anaknya. Tidak tepat rasanya disebut anak, lebih tepatnya seorang pemuda gagah dan perkasa. Kutaksir usianya lebih kurang 19 tahun.
Ayah dan ibu itu terlihat begitu fasih dalam berkomunikasi dengan putranya. Namun cara komunikasinya sungguh berbeda dengan kebanyakan masyarakat umum biasanya. Dunia mereka sungguh sunyi, tanpa kata-kata. Hanya gerakan tangan saja. Benar, mereka bertiga berkomunikasi dengan gerakan tangan karena tunarungu dan tunawicara. Kecepatan tangan mereka sungguh mengagumkan. Seakan dengan tangan itulah mereka berbicara.
Di Jepang, fasilitas bagi mereka yang berkebutuhan khusus memang bagus; rata-rata tempat yang ada memang cukup "welcome". Mulai dari transportasi, hingga fasilitas umum pun masih bisa terjangkau dengan nyaman bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Kembali ke keluarga di awal tulisan ini. Cukup lama saya memperhatikan, karena memang mereka duduk tepat di hadapan saya. Apa boleh buat. Cara mereka berkomunikasi sangat efektif walaupun menggunakan bahasa isyarat bagi kaum tunarungu serta tunawicara. Ekspresi sang ibu seakan tak puas, entah kenapa. Sedangkan sang ayah seakan jadi pendengar yang baik, hanya sekali-kali menimpali pembicaraan antara ibu dan anak.
Besar kemungkinan putra merekalah yang tunarungu serta tunawicara, karena sekali waktu sang ibu bisa bersuara cukup nyaring. Yang cukup menggelitik benak saya, kenapa ayah dan ibu tidak berkomunikasi secara normal, berbicara dengan suara? Sang anak terkadang seakan tak setuju dengan pendapat orangtuanya. Terlihat jelas berulangkali ekspresi mukanya terlihat tak puas.
Pemandangan tepat di depanku ini menyadarkan akan satu hal, keluarga di manapun di dunia ini, ternyata sama saja. Cinta kasih seorang ibu tak akan berubah apapun kondisi sang anak. Kasih sayang tidak melihat rupa, fisik dan kekurangan sang anak. Perjuangan ibu ini sungguh tak mudah, tetapi nyatanya beliau mampu juga membesarkan anak dengan kebutuhan khusus. Jalinan batin terlihat sekali dari cara berbincang antara ibu dan anak. Konon, komunikasi dengan tunarungu dan tunawicara selain membutuhkan kecepatan tangan juga sangat diperlukan kontak mata antara mereka. Luar biasa!
Pemandangan seperti ini pun bukan satu dua kali saja terekam dalam benakku. Dalam kereta pun terkadang ibu-ibu di Jepang sungguh terlihat "gagah perkasa"; sembari menggendong si bungsu di gendongan punggung belakang, masih juga mengasuh sang kakak yang berusia balita. Kadang masih mampu juga berlari-lari kecil mengejar kereta. Semua dilakukan oleh ibu saja tanpa ada yang membantu karena memang kehidupan di Jepang mengharuskan mandiri, hidup tanpa bantuan asisten rumah tangga. Menariknya, rata-rata ibu yang "lincah" ini justru berbadan mungil dan gesit sekali gerakannya. Entah apakah ada korelasi antara postur tubuh dengan kerasnya tekanan hidup.
Saat di rumah sakit pun sama saja, ibu-ibu "perkasa" banyak ditemui. Sembari membawa anak-anak yang sakit, masih mampu juga ibu-ibu ini berkarier dan bekerja membantu perekonomian rumah tangga. Tak mudah. Ibu-ibu perkasa dengan seragam kantor terlihat gesit menggendong anaknya yang sakit dan di belakangnya biasa diikuti anak yang lain. Biasa dua anak, tapi terkadang terlihat juga bawa tiga anak. Dan biasanya semua sakit karena saling tertular. Luar biasa! Mampu meng-handle semua dalam satu genggaman tangannya, Pantas saja ibu-ibu Jepang ini langsing dan mungil karena begitu keras roda kehidupan di Jepang ini. Kecil, mungil.. tetapi cekatan sekali.
Itulah satu gambaran kerasnya kehidupan seorang ibu di Jepang, harus mandiri, Rata-rata memang demikian adanya. Tepatlah satu pernyataan Andrie Wongso. " Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah cinta sejati....tanpa pamrih. Tidak bisa dinilai atau digantikan dengan apa pun."
Salam luar biasa,
Hani Yamashita
(Jepang)
sumber: andriewongso.com
please like and share

Artikel Terkait

Previous
Next Post »