Setiap aktivitas di suatu organisasi, tentu tidak terlepas dari komunikasi. Arus komunikasi di tempat kerja yang dapat kita bedakan menjadi arus dari atasan kepada bawahan (top-down communications), arus dari bawahan kepada atasan (bottom-up communications) dan arus komunikasi antarkaryawan (cross-channel communications), hanya akan berjalan dengan lancar apabila semua komponen atau pihak yang terlibat dalam komunikasi memahami benar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Lalu, bagaimanakah berkomunikasi yang baik? Untuk lebih jelas dalam memahami komunikasi yang baik, kita dapat menggunakan salah satu model proses komunikasi yang ditampilkan oleh Philip Kotler berdasarkan paradigma Shannon dan Weaver secara sepintas. Komunikasi yang baik akan terjadi apabila komunikator mengetahui dengan baik khalayak sasaran dari pesan yang akan disampaikan dan tanggapan apa yang diinginkannya. Ia harus terampil dalam mengemas pesan dengan memperhitungkan bagaimana komunikan sasaran biasanya menginterpretasikan pesan yang disampaikan. Komunikator harus mengirimkan pesan melalui media yang tepat dalam mencapai sasarannya. Dalam proses komunikasi ini, komunikator juga harus mampu mengantisipasi terjadinya gangguan (noise) selama proses komunikasi berlangsung.
Dalam proses komunikasi pada suatu organisasi, salah satu noise yang mungkin terjadi adalah timbulnya konflik, baik konflik antarkaryawan, konflik antara atasan dan bawahan, antara kelompok dan kelompok ataupun antara seseorang dan kelompok. Tubbs dan Moss (1996) menyatakan bahwa para ahli teori cenderung menganggap konflik sebagai aspek alamiah dari setiap hubungan manusia, yang tidak selamanya bersifat destruktif. Hocker dan Wilmot (dalam Tubbs dan Moss, 1996) berpendapat bahwa konflik adalah suatu proses alamiah yang dapat terjadi pada hampir semua hubungan dan dapat diatasi dengan pengelolaan konstruktif lewat komunikasi. Konflik menurut mereka adalah suatu pertentangan antara sekurang-kurangnya dua pihak yang saling bergantung yang memiliki persepsi/ tujuan-tujuan yang tidak selaras, tidak memperoleh reward seperti yang mereka harapkan, atau juga karena adanya gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan-tujuan mereka. Menurut Nitisemito (dalam Suminar, 1999), konflik perlu dipelajari karena konflik dapat terjadi pada setiap organisasi. Dengan jalan mempelajari masalah konflik, maka kita dapat mengetahui konflik yang mempunyai akibat positif dan akibat negatif. Dengan demikian kita dapat mencegah kemungkinan timbulnya konflik-konflik yang merugikan, mengarahkan konflik-konflik yang positif serta berusaha menghilangkan konflik-konflik yang dapat merugikan.
Ada banyak faktor penyebab timbulnya konflik:
- perbedaan pendapat
- salah paham
- ada pihak yang merasa dirugikan
- perasaan yang terlalu sensitif
Kesalahpahaman yang terjadi dalam kegiatan komunikasi di suatu organisasi mungkin sekali disebabkan oleh gangguan (noise) pada saat proses komunikasi berlangsung.
Konflik (kesalahpahaman) dapat terjadi pada saat atasan menyampaikan pesan (message) yang berupa penyampaian instruksi kerja melalui saluran tertentu (channel), seperti memo, surat tugas, telepon ataupun secara lisan, kepada bawahan. Pada saat bawahan menerima pesan, bisa saja kesalahpahaman terjadi, misalnya bawahan merasa beban kerja yang diberikan atasan terlalu berlebihan atau di luar kemampuan yang bersangkutan. Padahal bisa saja atasan memberi pekerjaan tersebut karena percaya pada kemampuan bawahannya. Demikian juga dengan umpan balik (feedback) yang diberikan bawahan atas instruksi kerja yang diberikan atasan. Bila instruksi kerja yang diberikan atasan telah sampai pada tenggat waktu (date-line) namun bawahan belum memberikan hasil kerjanya, barangkali atasan akan beranggapan bawahan tidak menunjukkan dedikasi kerja dan menganggap remeh instruksi yang diberikan. Padahal bisa saja bawahan belum menyelesaikan pekerjaannya karena menemui banyak kesulitan yang tidak dia komunikasikan kepada atasannya.
Setiap pimpinan dalam organisasi diharapkan memiliki kemampuan untuk mendeteksi timbulnya konflik di antara para karyawannya. Bagaimanakah caranya? Konflik timbul diawali dengan gejala-gejala, misalnya dalam konflik yang terjadi di antara dua karyawan, akan terjadi hubungan yang renggang di antara keduanya, kekakuan dan ketegangan, saling menghindar dalam aktivitas sehari-hari, menolak bekerja dalam satu tim dengan pihak yang terlibat konflik, dan sebagainya. Pemimpin yang baik harus peka terhadap gejala-gejala tersebut. Dengan kemampuan mengetahui adanya konflik sedini mungkin, pimpinan dapat mencegahnya, mengarahkannya atau menghilangkannya. Mengatasi konflik yang terjadi dalam organisasi memang tidak mudah. Nitisemito mengemukakan beberapa hal yang dapat membantu pimpinan untuk mencegah timbulnya konflik sedini mungkin, yaitu:
1. Menciptakan komunikasi timbal balik antara atasan dan karyawan, dengan penekanan pada arus komunikasi dari bawah ke atas (bottom-up communications). Diharapkan dengan komunikasi yang terbuka, bawahan dapat mencurahkan isi hatinya, sehingga informasi tentang gejala terjadinya konflik dapat diketahui dan diantisipasi.
2. Menggunakan jasa pihak ketiga. Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat konflik akan lebih terbuka pada pihak ketiga yang dinilai netral. Maka untuk mempermudah mengetahui timbulnya konflik seawal mungkin, dapat menggunakan jasa pihak ketiga, misalnya konsultan.
3. Menggunakan jasa pengawas informal. Untuk mengetahui adanya konflik sedini mungkin, kita dapat menempatkan pengawas-pengawas secara informal di lingkungan organisasi. Keberadaan pengawas informal ini, yang berkedudukan seperti intel, tentu saja dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pimpinan organisasi. Dari informasi yang diperoleh oleh pengawas informal, diharapkan pimpinan dapat mengetahui data di lapangan. Namun yang harus diperhatikan dalam menggunakan pengawas informal ini adalah kredibilitas dari pengawas informal untuk dapat memberikan informasi yang sebenar-benarnya, tidak dibuat-buat.
ConversionConversion EmoticonEmoticon