Yang lebih signifikan dan
praktis silogisme majemuk, yaitu: Antisilogisme (pengujian silogisme) dan
Dilema (penyimpulan bercabang). Antilogisme dan Dilema dalam logika sebagai
gelaja penyimpangan berpikir logis. Baca juga artikel tentang Proposisi majemuk
Antilogisme
Antisilogisme atau pengujian silogisme adalah
“suatu ingkaran kesimpulan pada silogisme majemuk yang menimbulkan
ketidakselarasan antara premis dan kesimpulan”. Antisilogisme digunakan untuk
menguji silogisme majemuk. Hasil antilogisme, bahwa yang tepat adalah
kesimpulan semula, sebab kesimpulan yang kedua diingkari. Hukum dasar
antisilogisme: “ingkaran kesimpulan dari silogisme majemuk yang mewujudkan
ketidakselarasan dengan premisnya, maka yang tepat adalah kesimpulan semula”.
Pembuktian dari antilogisme, yaitu ke-tepat-an kesimpulannya dengan diagram
himpunan.
Penyimpulan antisilogisme didasarkan pada hukum dasar
antisilogisme sebagai suatu TAUTOLOGIS (silogisme yang mesti benar), yang
disusun oleh silogisme kondisional dengan cara: “ingkari konsekuen dengan
menetapkan salah satu anteseden, maka kesimpulannya cukup ingkari salah satu
antesedennya. Cara ini mengikuti modus tolendo tolen (dalam silogisme
ekuivalen).
Dilema
Dilema atau penyimpulan bercabang adalah
“penyimpulan dalam silogisme majemuk yang lebih kompleks dengan dua proposisi
implikatif sebagai premis mayor dan proposisi disjungtif sebagai premis minor,
yang mewujudkan kesimpulan yang bercabang”. Dilema digunakan di dalam
perbincangan, yang menuntut teman bicara harus mengambil kesimpulan yang sulit
atau tidak menyenangkan, untuk menuntut keadilan. Atas dasar sistem
penalarannya, ada 2 macam Dilema: Konstruktif dan Destruktif.
Dilema Konstruktif
Dilema konstruktif adalah “bentuk penyimpulan
bercabang dengan modus ponendo ponen (dalam silogisme ekuivalen)”.
Yaitu, menetapkan anteseden masing-masing proposisi implikatif pada premis
mayor, maka kesimpulannya menetapkan konsekuen masing-masing proposisi itu. Ada
3 hukum dasar dilema konstruktif:
1. Jika (jika anteseden-1 maka
konsekuen, dan jika anteseden-2 maka konsekuen) dan (anteseden-1 atau
anteseden-2), maka kesimpulannya (konsekuen).
2. Jika (jika anteseden-1 maka
konsekuen-1, dan jika anteseden-2 maka konsekuen-2) dan (anteseden-1 atau
anteseden-2), maka kesimpulannya (konsekuen-1 atau konsekuen-2).
3. Jika (jika anteseden maka
konsekuen-1, dan jika non-anteseden maka konsekuen-2) dan (anteseden atau
non-anteseden), maka kesimpulannya (konsekuen-1 atau konsekuen-2).
Bukti ke-tepat-an dilema konstruktif, dengan tabel
kebenaran; dan bukti ke-benar-annya adalah TAUTOLOGI.
Dilema Destruktif
Dilema destruktif adalah “bentuk penyimpulan bercabang
dengan modus tolendo tolen (dalam silogisme ekuivalen)”. Yaitu, ingkari
konsekuen masing-masing proposisi implikatif pada premis mayor, maka
kesimpulannya ingkari masing-maisng anteseden proposisi itu. Ada 2 hukum dasar
dilema destruktif;
1. Jika (jika anteseden maka
konsekuen-1, dan jika anteseden maka konsekuen-2) dan (non-konsekuen-1 atau
non-konsekuen-2), maka kesimpulannya (non anteseden).
2. Jika (jika anteseden-1 maka
konsekuen-1, dan jika anteseden-2 maka konsekuen-2) dan (non konsekuen-1 atau
non konsekuen-2), maka kesimpulannya (non anteseden-1 atau non anteseden-2).
Bukti ke-tepat-an dilema destruktif, dengan tabel
kebenaran; dan bukti ke-benar-annya adalah TAUTOLOGI.
Untuk ingkari dilema dengan RETORSI (penyimpulan
dilema yang kesimpulannya untuk ingkari kesimpulan dilema semula).
Dengan demikian, dari bahasan Antilogisme dan Dilema,
dapat dipahami secara jelas bahwa LOGIKA adalah sistem penalaran tentang
penyimpulan yang sah (tepat) sebagai berpikir logis dalam bidang hukum, ilmu
pengetahuan ilmiah dan kehidupan sehari-hari. Sebab itu, jika berpikir
(menalar) tidak mengikuti hukum dasar penyimpulan yang sah, maka dapat
dikatakan tidak logis.
Sumber: Noor Muhsin Bakri dan Sonjoruri
Budiani Trisakti. Logika. Ed. V.
Jakarta: Universitas Terbuka, 2012, hal. 9.27-9.41.
ConversionConversion EmoticonEmoticon