Penerapan Hukum dalam Islam

8:00:00 am


“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah (al-Qur’an), maka mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir (al-Ma’idah 47).”

Para ahli memberikan beberapa definisi tentang hukum, salah satunya adalah seperangkat aturan atau undang-undang yang mesti diterapkan dalam kehidupan secara pribadi ataupun bermasyarakat. Penerapan hukum tersebut bertujuan memberikan rasa aman bagi setiap individu dalam proses interaksinya dengan individu lain ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Agar tujuan itu tercapai maka dibutuhkan seperangkat hukum yang betul-betul teruji dan dibuat oleh yang benar-benar ahli di bidangnya. Ahli hukum disebut dengan hakim. Dalam perspektif hukum Islam, Allah adalah hakim yang paling sempurna dan paling adil (QS. al-Tin 8). Hukum yang dibuat Allah terdistribusi pada ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran Allah). Ayat-ayat tersebut terbagi dua, ayat qauliyah yaitu firman Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, dan ayat kauniyah yaitu alam ciptaan Allah. 

Para ulama sepakat mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama (mashdar al-uzma) dalam penerapakan hukum Islam. Dari penelaahan mendalam yang mereka lakukan ditemukan bahwa terdapat 5 jenis hukum dalam Islam. Pertama wajib yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala namun apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Kedua sunnah yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala namun apabila ditinggalkan tidak mengakibatkan dosa. Ketiga mubah yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya tidak memperoleh pahala, bagitu juga apabila ditinggalkan tidak memperoleh dosa. Keempat makruh yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan tidak mengakibatkan dosa namun merupakan sesuatu yang dibenci Allah, apabila ditinggalkan akan memperoleh pahala. Kelima haram yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya akan memperoleh dosa namun apabila ditinggalkan akan memperoleh pahala.


Berbicara tentang posisi kerasulan Muhammad SAW dalam perspektif hukum Islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa apapun yang dikatakan, dilakukan, ditetapkan oleh Rasulullah juga merupakan sumber hukum. Perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah tersebut disebut dengan sunnah Rasulullah (baca;sunnah). Rasulullah sering disebut sebagai al-Qur’an berjalan dalam arti seluruh tindak tanduknya merupakan penerjemahan dari nilai-nilai al-Qur’an. Posisi sunnah berada di bawah al-Qur’an. Apabila ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an memuat hal-hal yang abstrak dan umum (garis besar), maka sunnah berfungsi sebagai penjelas (tabyin) bagi hal-hal tersebut. Sebagai contoh dalam al-Qur’an terdapat kewajiban sholat, namun cara melaksanakan tidak dijelaskan dengan rinci. Untuk itu dibutuhkan sunnah guna menjelaskannya. Dengan demikian antara al-Qur’an dengan sunnah merupakan dua hal yang tidak boleh dikesampingkan oleh umat Islam. Mengherankan memang apabila ada segelintir umat Islam yang hanya mau mempergunakan al-Qur’an saja sebagai sumber hukum dengan menegasikan (meniadakan) sunnah yang notabene merupakan penjelasan yang tidak bisa dipisahkan dari al-Qur’an. Kelompok ini sering diidentifikasi sebagai inkar al-sunnah (Pengingkar sunnah).


Bagi umat Islam keharusan untuk menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum merupakan hal mutlak dilakukan. Pembuat hukum dalam al-Qur’an adalah Allah, Zat Yang Maha atas segala-galanya, sehingga tidak ada sedikitpun peluang atau ruang untuk keliru/salah. Sementara sunnah merupakan tindakan, perbuatan, ketetapan dari Rasulullah, pribadi agung yang merupakan penerjemahan dari al-Qur’an dalam segala tindak-tanduknya. Rasulullah memberikan jaminan keselamatan (lan tadhillu abada) bagi orang-orang yang menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum dalam menjalani kehidupan baik secara individu ataupun bermasyarakat.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »